Show me a family of readers, and I will show you the people who move the world. ~Napoleon Bonaparte
Sabtu, 06 Juli 2013
Pekerjaan Ok, Anak Bahagia
Ibu bekerja, diluar pekerjaan domestik tentu saja, merupakan hal lumrah saat ini. Entah karena tuntutan ekonomi, atau sekedar tuntutan eksistensi diri. Ada yang bekerja diluar rumah, ada juga yang menjadi pelaku usaha di rumah.
Lalu bagaimana dengan anak-anak jika Ibu bekerja?
Modal dasar bagi orangtua dalam mengasuh anak-anaknya adalah kemampuan memahami karakter dan temperamen mereka. Ada anak yang tenang, ada yang suka tantangan, dan sebagainya. “Ketika ibu sudah memiliki ‘modal’ tadi, lalu ibu tetap memerhatikan dan memenuhi kebutuhan kasih sayang sayang anak hingga anak percaya ibunya tetap sayang kepadanya, keputusan untuk ibu bekerja tidak akan bermasalah,” ujar Fajriati M. Badrudin, psikolog pada Bunga Matahari Islamic Pre-School, yang berlokasi di Doha, Qatar.
Namun begitu, tetap saja anak-anak harus diberi pemahaman tentang ketiadaan ibu di rumah untuk pergi bekerja. Apalagi ketika mereka melihat ibu dari teman-temannya selalu ada di rumah menemani dan melayani mereka. Fajriati memaparkan bahwa untuk anak-anak balita, orangtua belum bisa memberikan pemahaman secara abstrak karena tahapan pemikiran mereka masih dalam tataran konkret. Seiring pertambahan usia, barulah abstraksi mereka semakin bagus dan bisa diajak berdiskusi.
Pada tahap awal perkembangan anak, kata Fajriati, interaksi terbaik adalah dengan sentuhan langsung. “Misalnya ketika ibu sedang ada di rumah, segala keperluan anak sebaiknya ditangani ibu, jangan diserahkan kepada asisten rumah tangga lagi,” kata lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini.
Sepulang bekerja, ibu sebaiknya langsung memberi waktu untuk anak. Jangan menundanya karena anak sedang dalam kondisi terbaik setelah menunggu ibu pulang bekerja. Paling tidak berikan waktu 15 menit untuk melayani kebutuhan anak, apakah mereka ingin bermain bersama atau sekadar ingin berbagi cerita tentang aktivitasnya. Selelah apa pun ibu, jangan menolak anak di saat-saat seperti ini. Barulah ketika anak sudah merasa didengarkan dan diperhatikan, ibu bisa minta waktu pada anak untuk mandi dan beristirahat sebentar untuk kemudian menemani mereka lagi.
Mengenalkan anak pada pekerjaan ibu juga bisa dilakukan untuk memberi mereka pemahaman. Sesekali mereka bisa diajak ke tempat kerja, tentu dengan seizin atasan. Atau ajak mereka ke tempat kerja saat cuti untuk mengenalkan situasi kantor. Kalau pekerjaan dilakukan dirumah, tentu lebih gampang lagi menjelaskannya.“Dengan demikian mereka akan paham bahwa ibunya keluar rumah untuk bekerja, bukan untuk main-main. Sambil jelaskan kepada mereka bahwa kita mencari uang untuk memenuhi kebutuhan hidup, seperti membeli makanan, membayar sekolah dan sebagainya,” terang Kepala Sekolah Daar al-Arqam Indonesian Stream al-Khor, Qatar ini.
Dukungan dan kontribusi suami juga mutlak diperlukan. Penerapan pola asuh anak pun haruslah hasil kesepakatan suami dan istri karena pendidikan anak adalah tanggung jawab bersama. Ketika istri bekerja—yang sudah pasti melalui restu suami—suami pun harus berperan. Misalnya, bila tak ada pengasuh, suami sebaiknya turun tangan membantu istri, entah menjaga anak, ikut membantu pekerjaan rumah tangga, atau yang lainnya. Ketika anak-anak melihat kerja sama antara ayah dan ibunya, sesungguhnya ini merupakan pelajaran berharga untuk masa depan mereka juga.
Sumber: http://www.ummi-online.com
http://www.womenscircle.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar