Berani, jujur, amanah, dan sebutlah semua karakter baik yang ada pada seorang pemimpin sejati. Karena karakter-karakter baik ini tidak otomatis hadir pada diri anak, tantangan kita sebagai orangtua adalah bagaimana memunculkannya.
Berikut contoh-contoh praktis dan tak terpikirkan dari Anies Baswedan, tokoh perintis Gerakan Indonesia Mengajar.
Fokus pada hal-hal positif.
Di rumah, apresiasi pada hal-hal yang baik yang harus selalu diangkat. Ini mudah dikatakan, tapi kenyataannya mindset
kita belum seperti itu. Bila melihat masalah, kita cenderung
mengangkatnya, dengan harapan agar anak tidak melakukannya. Lebih baik
lihat sisi positifnya, walaupun kecil, dan komentari, apresiasilah.
Misalnya, seorang anak SD yang sedang menjalankan puasa, dan pulang ke
rumah pada siang hari dengan keadaan yang lelah. Dia mengatakan pada
ibunya ingin buka puasa karena tidak kuat. Pilihan pertama: ibu
menyemangati untuk ditahan dulu sampai magrib, masa tidak bisa. Pilihan
kedua; ibu melihat bahwa si anak sudah berlaku jujur. Alih-alih
diam-diam minum, dia ‘lapor’ dulu pada ibunya bahwa dia ingin minum.
Karena itu apresiasi kejujuran anak. “Ibu senang sekali karena kamu
jujur. Sekarang boleh minum, ini adalah sahur kedua, jadi setelah ini
kamu bisa melanjutkan puasamu”. Ini adalah ekspresi menghargai karakter
anak yang jujur, hal-hal kecil tapi penting. Kemudian, alih-alih
mengatakan bahwa anak ‘batal’ puasa, katakanlah ‘sahur kedua’. kata-kata
batal mengandung makna negatif, berarti gagal.
Kemudian Ibu akan menceritakan hal
ini kepada Ayah, dan sepulang kantor Ayah juga berkomentar dan
mengapresiasi kejujuran anak. Anak akan merekam bahwa jujur adalah value yang sangat dijunjung oleh orangtuanya.
Ceritakan keteladanan.
Tidak perlu dari buku, tokoh-tokoh biografi tertentu. Ceritakanlah secara casual,
sosok, orang yang kita temui, yang dekat dengan keluarga, ataupun yang
dilihat sama-sama di TV. Cerita singkat tentang kebaikan, kesuksesan,
dan cerita positif lainnya pada orang-orang yang dekat dengan lingkungan
kita, akan membuat penyampaiannya lebih personal. Tidak perlu dibumbui
pesan apapun, karena secara tidak sadar, anak akan mengambil inspirasi
dengan sendirinya.
Ciptakan pengalaman-pengalaman yang bisa mem-booster rasa percaya diri.
Ini berkaitan dengan membebaskan anak untuk melakukan apapun, dan
memberi kepercayaan. Biasanya pengalaman ini muncul saat anak tidak
didampingi oleh orangtuanya, jadi dukunglah untuk setiap kegiatan keluar
rumah, menginap di rumah saudaranya, dan sebagainya. Jangan ragu untuk
sesekali atau seringkali mengajak anak -yang sudah mandiri- ke tempat
aktivitas orangtua, misalnya ke kantor. (Pak Anies juga sangat mendukung
upaya mewujudkan kantor yang mother friendly, sehingga apabila ibunya harus bekerja, anak yang masih kecil juga bisa diajak ke kantor).
Mekanisme rekayasa interaksi.
Misalnya
berkaitan dengan cara kita mendesain rumah. Segala kemudahan yang
diberikan kepada anak, seperti kamar mandi di dalam kamar anak,
membuatnya tidak berinteraksi. Ciptakan flow interaksi yang maksimal, antar adik kakak maupun dengan orangtua.
Partnership=Supportive.
Faktanya, level of absense suami lebih tinggi daripada level of presence-nya
terhadap anak. Penting sekali istri tidak menceritakan dan mengeluhkan
kesibukan suami (absennya suami) sebagai beban. Tingkatkan engagement
suami/istri terhadap perkembangan, apa yang terjadi pada anak di rumah.
Ibu selalu memberikan update terhadap apa yang terjadi pada anak
sehingga engagement terhadap anak tinggi. Sepulang dari kantor,
ayah bisa berkomentar dan memberikan pujian terhadap apa yang dilakukan
anak pada hari itu.
Pak Anies juga memberi quote yang menarik, bahwa orangtua adalah pendidik terpenting, tapi sekaligus yang paling tidak tersiapkan. Parents is the most important educator, but the least prepared.
Karena itu pendidikan karakter justru sangat penting ditujukan bagi
orangtua, karena orangtua adalah sumber inspirasi utama anak. Anak akan
mencontoh orangtuanya.
Sumber: http://mommiesdaily.com

Tidak ada komentar:
Posting Komentar