Senin, 30 September 2013

Menjaga Keharmonisan dengan Pasangan

 Mempertahankan pernikahan dalam kondisi yang harmonis memang tak gampang. Lebih dari 40% pernikahan baru mengalami perceraian. Demikian dilansir American Psychological Association.

Lantas apa saja yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan sebuah pernikahan? Kita simak tips berikut yuuks.. :)

1. Komunikasi yang lancar
Selalu terbuka pada pasangan, bukan hanya buka-buka baju lo ya.. ;), apa yang Anda rasa tak sehati dengannya. Ada banyak hal yang tentu saja akan menjadi perbedaan bagi dua orang yang berbeda. Membicarakan masalah anak-anak atau kebutuhan rumah tangga adalah hal yang utama. Namun tak ada salahnya jika mencoba membahas hal-hal yang lebih dalam lagi tentang Anda berdua. Perbedaan pendapat harus disampaikan dengan asertif. Jangan sampai ada teriakan yang akan mengacaukan keadaan. Saling peka dengan perasaan pasangan dan mau mendengarkan pandangan masing-masing dalam setiap masalah yang dihadapi. Dan yang paling penting juga adalah bisa membuat pasangan Anda tertawa!

2. Mencoba sesuatu yang baru
Pernikahan yang sudah berjalan bertahun-tahun, katakanlah lima, tujuh, atau lima belas tahun, pastinya menimbulkan kejenuhan. Rutinitas membesarkankan anak, pekerjaan, dan komitmen bersama mulai membuat hubungan terasa hambar. Tak ada salahnya Anda dan pasangan menikmati kembali masa-masa berdua saja layaknya orang pacaran. Apalagi jika ada yang bisa dititipi anak sebentar. Pergilah berdua saja melakukan hal yang disenangi. Menonton bioskop, nonton bola, atau makan di luar. Apa saja, yang penting berdua, tanpa anak-anak! Dan soal sex, Anda harus berani mencoba hal baru, dengan pasangan sendiri. Jangan sampai alasan jenuh membuat Anda merusak pernikahan dengan selingkuh!

3. Mencari bantuan jika diperlukan
Ada-ada saja sumber konflik pasangan menikah. Pendidikan anak, keuangan, dan banyak lagi yang bisa memicu pertengkaran suami istri. Ga harus menunggu masalah membesar dulu, Anda bisa berkonsultasi dengan konselor perkawinan (psikolog) tentang  bagaimana mengatasi perbedaan pendapat dengan pasangan. Untuk mencegah perceraian tentunya!


Sumber: apa, bunda.co

Mengontrol Rasa Marah

Apakah Anda marah hanya gara-gara ada yang menyalip kendaraan Anda di jalan raya? Pernahkah Anda merasa kesal sampai ubun-ubun karena anak-anak sedang berulah? Marah itu normal, dan menunjukkan emosi yang sehat. Yang perlu dikontrol adalah penyalurannya harus positif. Karena marah yang tak terkontrol, hanya merusak kesehatan dan merusak relasi dengan orang lain.

Tips berikut bisa Anda coba untuk mengelola rasa marah:

1. Tarik napas dalam-dalam, sambil menghitug sampai 10. Yahh, saat marah, ternyata kita perlu menjadi anak kecil dulu ;)   Kalau perlu, menghindar dulu dari TKP (Tempat Kejadian Peristiwa), sampai merasa lebih tenang.

2. Segera setelah merasa tenang, sampaikan kekecewaan Anda dengan asertif, tanpa bernada mengatur, atau menyakiti orang.

3. Lakukan olahraga ringan seperti jalan kaki atau berlari. Aktivitas fisik diketahui mengeluarkan hormon perasaan bahagia yang dapat menghilangkan stres.

4. Ketika marah, tetap berpikir mau ngomong apa. Karena biasanya orang yang marah, mulut tak punya saringan lagi.

5. Mengidentifikasi solusi yang mungkin bisa diambil.
Anda marah karena anak-anak mengotori kamar? Tutup pintuya!. Anda merasa kesal karena suami sering tak menepati jadwal kencan berdua? Atur kembali jadwalya bersama suami. Selalu ingatkan diri Anda, bahwa marah tidak menyelesaikan masalah. Tetapi bisa membuat keadaan menjadi lebih buruk.

6. Belajar memaafkan kesalahan orang lain juga dapat mengendalikan rasa marah lo!

7. Sedikit humor mungkin bisa dilontarkan. Tapi hati-hati jangan sampai menyinggung perasaan orang yang telah membuat Anda kesal, bisaa bisa keadaan jadi memburuk!

Selamat menikmati rasa marah Anda ya.. ;)



Sumber: mayoclinic, apa

Minggu, 29 September 2013

Yang Sering Bikin Kalap Belanja Itu...


Tak jarang, kita membeli barang-barang yang sebenarnya ga kita butuhin amat. Entah itu baju mahal karya disainer ternama, tas bermerk, gadget terbaru, atau aksesoris yang indah dipandang.

Kok bisa ya kita tergiur membeli barang-barang tersebut, padahal sebenarnya ga masuk daftar prioritas kebutuhan?

Ini bisa menjadi penyebabnya: 

1. Kita sudah tergoda, terpedaya oleh strategi marketing
Yang mempengaruhi orang untuk belanja tentu saja strategi pemasaran yang dilakukan produsen. Iklan yang menarik, begitu berkesan di pikiran bawah sadar kita, pikiran kita menjadi penuh dengan barang yang keliatannya sangat harus kita miliki itu. belum lagi dengan penawaran berbagai macam diskon. Anda pernah bukan membeli sesuatu bukan karena kebutuhan mendesak, tapi hanya gara-gara tulisan 'buy one get one free'? :)

2. Kita senang ikut-ikutan
Selain pengaruh strategi pemasaran yang cerdas dari produsen, kita senang ikut-ikutan teman dalam membeli sesuatu. Rasanya gimana gitu, kalo ga punya juga. Atau bisa saja karena menganggap apa yang dipakai teman itu pilihan yang bagus. Jadi bukan karena kebutuhan. Padahal, bisa jadi setiap orang punya standar yang berbeda dalam menilai bagus tidaknya suatu barang bukan? Bicara gengsi bo.. :)

3.Kita impulsif
Beberapa dari kita mungkin termasuk tipe impulsif. Bisa memutuskan untuk belanja hanya karena menuruti kata hati tanpa rasionalisasi, butuh apa ga kita dengan barang tersebut. Ketertarikan dengan kemasan, ditambah iklan plus diskon semakin membuat orang impulsif tak kuasa menahan diri untuk tak membeli produk tersebut.

4. Suasana hati
Suasana hati yang positif maupun negatif, bisa sama-sama mempengaruhi nafsu belanja. Orang yang sedang hepi bisa pengen belanja apa saja. Begitu juga dengan orang yang lagi stres atau depresi. Terkadang belanja apa saja bisa mengubah suasana hati mereka menjadi positif.


Wahh, kalo sudah tahu penyebabnya, mudah-mudahan kita bisa mengerem nafsu belanja ya.., waspada lo, dolar semakin naik!..



Sumber: psychologytoday, detik


Selasa, 24 September 2013

Sekolah, untuk Pamer atau Belajar?


Sekolah buat pamer? Pamer apaan ya? 
Ada dua pilihan untuk Anda:
1. Sekolah, pelajari materi dengan rajin, dan mendapat nilai D.
2. Sekolah, pelajari materi asal-asalan, dan mendapat nilai A.

Hayo!, pilih yang mana?.. :) Kebanyakan dari kita pasti milih yang no.2, tul ga? Jarang deh kayaknya yang milih no. 1. Kok bisa ya? Pertanda apakah ini?.

Artinya, kita sekolah, tujuan utamanya adalah nilai bagus! Bukan ilmunya. Ilmu sih, bisa didapat dari mana saja, dan ga harus dari guru disekolah. Dan betapa banyaknya orang tua yang bangga jika anaknya masuk ranking di sekolah. Karena itu berarti, nilai rata-rata anaknya lebih tinggi dibandingkan nilai teman sekelasnya. Nah, soal 'nilai' lagi bukan?

Orang tua berlomba-lomba mendorong anaknya untuk dapat sekolah di sekolah favorit, mendapat nilai paling tinggi, masuk kelas unggulan, memenangkan penghargaan yang ukurannya tentu saja akademik lagi. Bahkan saking terobsesinya dengan rangking, sampai lupa, sebenarnya apa saja sih yang sudah mereka pelajari di sekolah. Apa semuanya sudah diaplikasikan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Lalu bagaimana dengan anak yang prestasi akademiknya biasa-biasa saja, bahkan mungkin di bawah rata-rata. Apa mereka tetap bisa menjadi orang sukses dalam hidupnya?

Tak jarang, tuntutan untuk mendapat skor tinggi dalam setiap mata pelajaran membuat anak stres duluan sebelum belajar. Sehingga tak dapat memahami pelajaran dengan baik. Jika anak merasa tak terbebani dengan angka-angka penunjuk keberhasilannya dalam suatu subjek, dia akan bisa lebih baik dalam memahami konsep-konsep yang diajarkan. Belajar yang betul-betul belajar untuk kehidupannya, bukan untuk angka 10, 8, skor A atau D.


Jika sekolah adalah tempat untuk belajar, bukan tempat untuk mencari kebanggaan semata, tentu saja semua lulusannya, bisa menjadi orang sukses di bidangnya masing-masing. Karena setiap individu memiliki minat, bakat, dan kemampuan yang berbeda satu sama lainnya. Tugas orang tua dan guru, untuk menemukan dan mengembangkan potensi anak, tanpa menekan mereka untuk menjadi seseorang yang mengalami kontroversi hati seperti kata si Vicky.




Sumber: psychologytoday, portal.cbn, parenting


Rabu, 18 September 2013

Pengidap Down Syndrom Jadi Pengusaha?

Down Syndrom, atau di kampung saya sering disebut 'idiot', adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental pada anak yang disebabkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom (Cuncha, 1992). Down syndrome dinamai sesuai nama dokter berkebangsaan Inggris bernama Langdon Down, yang pertama kali menemukan tanda-tanda klinisnya pada tahun 1866.

Anak-anak dengan down syndrome memang langsung dapat dilihat perbedaannya dengan anak normal. Wajah mereka bundar seperti bulan purnama (moon face), dengan mata sipit yang ujung-ujungnya tertarik ke atas.

Sampai saat ini, belum diketahui apa penyebab kerusakan kromosom ke-21 yang menjadi pemicu kelainan genetis penyebab down syndrome ini. Diperkirakan ada beberapa factor yang berperan, seperti usia ibu yang sudah cukup lanjut, terpapar ultrasound USG lebih dari 400 kali, pengaruh alkohol, obat-obatan tradisional, dan lain-lain.

Anak-anak down syndrome punya tiga karakter khas, yaitu secara intelektual rendah, secara mental terbelakang, dan secara fisik mereka juga lemah.

Sebagai orangtua dari seorang anak dengan down syndrome, memiliki peranan yang sangat penting dalam membantu anaknya dalam mencapai potensi terbaiknya. Tak dipungkiri, mayoritas orang tua yang memiliki anak dengan down syndrome pada awalnya akan mengalami shock yang mengakibatkan depresi, sedih, berkabung, merasa takut, marah, kecewa, dan tak berdaya. Wajar apabila awal mengetahui anak menderita kelainan, orang tua sedih. Namun dijamin pencapaian selanjutnya sangat signifikan dan menarik untuk dilihat. Dan sangat dianjurkan bagi semua orang tua yang anaknya mengalami down syndrome, agar anak sejak bayi sampai usia 3 tahun mengikuti program interval awal dimana program-program ini biasanya memiliki staf yang terlatih untuk memantau dan mendorong perkembangan anak secara intensive. Mengakrabkan diri dengan anak adalah salah satu kunci yang paling penting bagi para orangtua untuk menjaga ketahanan mereka dan untuk menyadari apa yang dihadapi untuk penyesuaian diri dengan kondisi yang ada. Mencapai keterampilan dasar anak seperti belajar untuk makan sendiri dan memakai pakaian secara mandiri, memang sering memakan waktu lebih lama untuk anak-anak dengan down syndrome.

Namun, percayakah Anda jika ternyata, seorang anak down syndrom, bisa menjadi seorang pengusaha? Melebihi harapan rata-rata terhadap mereka?

Ini buktinya!

Pemuda ini bernama Andrew Banar, usiaya 22 tahun. Berjualan kaos hasil disain sendiri melalui perusahaannya Group Hug Apparel.

Ada lagi nih,

Christian Royal namanya, punya perusahaan Christian Royal Pottery yang memproduksi kerajinan dari tanah liat. Sudah berhasil menjual 3500 biji karyanya.

Satu lagi, namanya Tim, punya restoran Tim's Place, yang menyediakan  menu sarapan dan makan siang, buka tujuh hari dalam seminggu.


Kok bisa ya mereka semandiri ini?

Hal ini dapat dicapai dengan dukungan penuh kasih sayang dari keluarga. Orangtua menyisihkan waktu setiap hari untuk terus mendampingi anak berlatih dan menjaga sikap positif. Ketika membantu anak belajar menjalankan tugas-tugasnya sangatlah penting disertai dengan memberi semangat dan dorongan positif kepada anak untuk selalu mau belajar, bersosialisasi, dan aktif secara fisik. Misalnya, mendaftarkan anak di kelas dengan anak-anak lain pada usia yang sama. Selalu berinovasi dalam menciptakan cara-cara untuk selalu merangsang keterampilan berpikir anak dan hindari membuat tugas dan latihan yang semakin mempersulit cara berpikir mereka.

Wah, jika banyak pemuda normal Indonesia yang punya semangat wirausaha seperti mereka, tes CPNS jadi sepi peminat lah ya, dan anggaran belanja negara untuk gaji pegawai bisa ditekan. Weleh..weleh..! :)




Sumber:  majalah-lifestyle, psycholovegy, sheknows

Rabu, 11 September 2013

Memahami Lansia


Ketika masa lansia datang, maka manusia kembali berperilaku layaknya balita. Mungkin Anda yang sedang membaca artikel ini merasakannya pada Ayah atau Ibu Anda.. Banyak hal yang sering bikin kita stres,sebagaimana mengurus balita. Bisa jadi, itu juga yang orang tua kita rasakan saat mengasuh kita dahulu.

Kisah sebuah keluarga dengan lansia:

Keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri, kakek dan nenek dan seorang anak mereka yang masih kecil sedang makan bersama. Tiba - tiba gelas yang sedang dipegang nenek terjatuh dan pecah.Gelas itu terbuat dari porselin mahal.Nenek dan kakek tersebut sudah beberapakali tanpa sengaja memecahkan piring maupun gelas. 

”Aduh…nek..sudah berapa gelas dan piringku yang pecah ??… Bisa habis perabotan rumah ini..!! ” Kata menantunya.

Sang anak hanya memandang kasihan pada neneknya.

Suatu hari anak tersebut diajak jalan - jalan ke pasar oleh ibunya.Lalu si ibu bertanya.” Nak, kamu ingin di belikan apa?”Si anak dengan polos menjawab,” Ibu belikan aku piring dan gelas plastik  2 pasang saja”  ”Lho untuk apa nak, bukankah di rumah sudah banyak gelas dan piring?”
”Ibu, piring dan gelas plastik itu akan ku simpan untuk ibu dan ayah kelak jika  sudah tua, agar perabotan di rumah tidak habis pecah karena tangan ibu dan ayah sudah gemetaran seperti tangan nenek”, jawab anak tersebut. 

Mengharukan sekali ya.. :)



Berikut ini hal yang biasanya dialami lansia :
  • Merasa tidak berdaya, terlebih bila hidup tergantung sepenuhnya dari anak.
  • Merasa cemas dan kuatir dengan keadaan kesehatan
  • Perasaan takut saat sendirian di rumah, kesepian saat anak – anak bekerja, cucu sekolah
  • Butuh perhatian, sapaan dan kasih sayang dari anggota keluarga setiap hari
  • Ingin dihargai pendapatnya meskipun kadang dianggap kuno atau tidak relevan.Cobalah mendengar saja. Cukup didengarkan pendapatnya mereka merasa bahagia.
  • Mengalami kepikunan ( pelupa )
  • Mudah tersinggung
  • Gelisah, sulit tidur, mudah terjaga tengah malam, dsb
Apa yang harus dilakukan:
  • Libatkan anggota keluarga untuk memberi perhatian dan memahami orang tua yang sudah lanjut
  • Bantu orangtua untuk aktif dalam kegiatan sosial atau  kerohanian bila masih mampu. Jika ada kelompok doa atau pengajian sarankan untuk terlibat
  • Beri kesibukan yang bisa menyalurkan hoby orangtua agar terhibur , misalnya berkebun, menanam tanaman hias, memelihara ikan, burung atau merajut dsb
  • Perhatikan pola gisi yang sesuai untuk usia lanjut
  • Membantu menjaga kebersihan badan dan kontrol kesehatan orang tua secara teratur
  • Sekali waktu jadwalkan rekreasi bersama kakek dan nenek dengan seluruh anggota keluarga atau mengadakan reuni keluarga.
  • Bila ada senam untuk lansia , paguyupan senam diabetes, jantung sehat, atau ada kesempatan jalan pagi libatkan orangtua untuk tergabung dalam kelompok – kelompok tersebut.
  • Ungkapan cinta dan kasih sayang dari anak – anak dan anggota keluarga akan memperpanjang usia mereka.

Tentunya beda orang, beda pula masalahnya. Smoga kita bisa membahagiakan orang tua kita..


Sumber: kompasiana (bidan care), nwmarriagecounseling

Betulkah Anak Sering Sariawan Akibat Kekurangan Vitamin C?

Sering kita dengar penyebab sariawan adalah karena kekurangan vitamin C. Benar!, tetapi ini bukan satu-satunya penyebab. Adakalanya, anak-anak  mengalami sariawan karena terserang virus, alergi, atau kekurangan nutrisi lain seperti protein, zat besi, Zinc, dan vitamin B (B1, B2, B3, B6, B9, B12).

Beberapa virus dapat menimbulkan gejala sariawan dalam mulut berbentuk ulkus (borok) kecil di gusi, lidah, maupun kerongkongan. Virus yang dapat menimbulkan gejala sariawan antara lain Varisella (cacar air), Herpes simplex, dan Coxsackie virus (hand, foot and mouth disease).

Ada anak yang rutin makan buah-buahan, tapi tetap kena sariawan. Bisa sampai empat kali dalam sebulan. Mengapa?  Sariawan yang sering kambuh seperti ini disebut stomatitis aptosa. Penyebab pasti stomatitis aptosa masih belum diketahui. Ada yang menyatakan penyebabnya adalah alergi, kekurangan beberapa zat makanan, serta autoimun. Penyebab yang terakhir adalah kondisi dimana antibodi dalam tubuh yang berlebihan menyerang organ tubuh sendiri. Ada juga sariawan yang merupakan gejala awal dari IBD (Inflammatoy Bowel Disease) yang juga merupakan kelainan autoimun yang jarang terjadi di Indonesia tetapi sangat banyak di negara Barat.

Bagaimana mengatasi sariawan pada anak?

Selama 'serangan', terus tawarkan ASI, minuman yang segar (jus buah, susu UHT/pasteurisasi dingin, yogurt, milkshake buah, es mambo dari buah atau kacang hijau campur susu, dll.), es krim, buah semangka yang dicacah dan dibekukan di freezer, dan sebagainya.

Keesokan harinya, mungkin anak sudah bisa ditawarkan puding roti dingin, agar-agar buah dingin, puding karamel, dll. Bila anak menolak makan atau minum sesuatu,  jangan dipaksa. Namun, Anda juga jangan langsung stres. Terus tawarkan dan sediakan berbagai minuman dan camilan sehat alternatif. Catatan: Makan tak melulu harus nasi.

Lalu, makanan apa yang harus dipantang? Sebenarnya, tidak ada pantangan khusus. Berikan saja anak Anda makanan sehat, yaitu tanpa penyedap, pengawet, atau pewarna. Dan, Anda tidak perlu cemas secara berlebihan saat anak sariawan.

Sariawan tidak akan menyebabkannya dehidrasi, apalagi kalau anak Anda masih minum ASI (saat sakit, anak justru akan minum lebih sering). Catatan: Sariawan juga TIDAK ada obatnya, sehingga jangan berikan obat anti jamur atau salep yang mengandung steroid.

Jika sariawan yang dialami anak berulang (stomatitis aptosa), sebaiknya Mama membawa balita ke dokter anak atau dokter gigi anak untuk memastikan penyebab sariawan berulang yang dialaminya. Dengan demikian, pengobatannya menjadi tepat.



Sumber: ayahbunda, parenting, tentangbunda

Sabtu, 07 September 2013

Kapan Anak Harus Tes IQ?

 Apa sih IQ?

IQ sebetulnya singkatan dari intelligence quotient, diterjemahkan sebagai hasil bagi dari inteligensi. Inteligensi berarti ‘keterampilan berpikir dan kemampuan beradaptasi dan belajar dari pengalaman hidup sehari-hari’ (Santrock, 2002). Artinya semakin mampu seseorang menemukan makna dari pengalamannya, juga mampu memecahkan berbagai permasalahan yang dialaminya sehari-hari, maka dia semakin cerdas.
 
Kenapa inteligensi diukur dalam quotient alias hasil bagi? Karena pada dasarnya cara pengukurannya sederhana, ini dia rumusnya:
Yang disebut MA adalah Mental Age atau usia mental, yaitu bagaimana kemampuan seseorang – baik anak maupun dewasa – dibandingkan teman-temannya pada usia yang relatif sama. Chronological Age alias CA adalah usianya sebenarnya. Kedua ukuran ini, MA dan CA, dihitung dalam bulan. Contohnya seorang anak berusia 6 tahun 2 bulan (CA = 74 bulan), setelah diperiksa ternyata memiliki kemampuan setara dengan teman-teman yang berusia 6 tahun 9 bulan (MA = 81 bulan). Maka IQnya adalah 81 dibagi 74 dikali 100, menghasilkan angka 109. IQ 90-110 dianggap sebagai IQ yang rata-rata. Semakin tinggi IQ, seseorang dianggap semakin cerdas karena kemampuan mentalnya setara dengan mereka yang usianya jauh di atas usianya.

Dari mana mendapatkan skor MA? Para psikolog mendapatkannya lewat menanyakan rangkaian soal kepada anak, menghitung seberapa banyak soal yang dijawab dengan benar, lalu membandingkannya dengan anak yang usianya setara.

Contoh, anak 7 tahun 1 bulan akan dibandingkan dengan anak berusia 7 tahun 0 bulan sampai 7 tahun 3 bulan, tidak akan dibandingkan dengan anak 6 tahun 11 bulan ataupun 7 tahun 4 bulan. Perbandingan ini telah melewati pengujian terhadap begitu banyak orang sehingga didapatkan skor yang valid (betul-betul mengukur inteligensi) dan reliabel (menghasilkan skor yang setara saat diulang kembali).


Isi IQ

Pemeriksaan inteligensi yang benar tidak hanya menghasilkan 1 skor IQ tunggal, melainkan kumpulan dari berbagai skor. Beberapa di antara skor IQ adalah daya tangkap, daya ingat, kemampuan konsentrasi, kemampuan analisis-sintesis, kemampuan matematika, kemampuan bahasa, dll. Tes IQ yang baik (ini rahasia: sebetulnya para psikolog lebih suka menyebutnya ‘pemeriksaan inteligensi’, bukan tes IQ) juga akan mampu mengukur sikap kerja seperti ketelitian, kecepatan kerja, ataupun sistematika kerja. Sikap kerja yang baik dapat diinterpretasikan berbagai hal, salah satunya kesiapan anak untuk bersekolah.

Pada anak-anak bermasalah, selain mendapatkan skor IQ, psikolog juga mendapatkan berbagai data lain, misalnya jenis gangguan yang mungkin dialami anak, mulai dari gangguan perkembangan sampai gangguan kepribadian. Data-data tersebut kemudian jadi bala bantuan dalam menegakkan diagnosis.

Karena banyaknya kumpulan skor, maka bisa saja dua anak yang memiliki skor IQ total yang sama, misalnya sama-sama ber-IQ 110 tapi ternyata memiliki kemampuan yang berbeda, karena skor-skor di dalamnya berbeda. Oleh karena itu sebetulnya memprediksi prestasi anak hanya dari satu skor IQ saja sangat mungkin menghasilkan prediksi yang kurang tepat.

Jadi perlukah tes IQ?

Tak semua anak harus melakukan tes IQ. Pemeriksaan inteligensi lengkap hanya perlu dilakukan jika ada kecurigaan tentang gangguan psikologis. Salah satu contoh apabila anak selalu lambat menangkap, perkembangannya selalu terlambat dibandingkan teman seusianya, ia mungkin mengalami tuna grahita, dan harus dibuktikan lewat pemeriksaan inteligensi.

Jika anak baik-baik saja, maka sebetulnya ia dapat distimulasi dengan berbagai cara yang disarankan oleh para psikolog. Alasan lain yang terkadang membuat tes IQ perlu dilakukan adalah permintaan dari pihak sekolah. Beberapa sekolah membutuhkan pemeriksaan inteligensi untuk melakukan seleksi atau penempatan murid, atau untuk memahami kondisi murid sehingga penanganan sekolah lebih tepat.

Pemeriksaan psikologi bukan hanya tes inteligensi. Ada yang dinamakan ‘tes kepribadian’, untuk memahami dinamika kepribadian seseorang, atau masalah emosional yang mungkin muncul. Kepada anak terkadang diberikan jenis ‘tes psikomotor’, untuk memahami koordinasi visual-aural-motorik anak. Ada pula jenis lain yang disebut ‘tes minat/bakat’, biasanya dilakukan oleh para psikolog pendidikan untuk mengenali dan mengarahkan minat/bakat remaja. Untuk seluruh jenis tes psikologi, ada begitu banyak variasi tesnya. Agak sulit untuk ditebak apakah psikolog yang satu akan menggunakan variasi tes yang sama atau tidak dengan psikolog lain. Jika ditanya lagi apakah semua orang membutuhkan segala jenis pemeriksaan psikologi ini? Kembali, jawabannya adalah: TIDAK.

Apa yang harus disiapkan?

Jika ternyata anak diminta melakukan pemeriksaan inteligensi, apa yang harus disiapkan?
Persiapan yang perlu dilakukan hanya: anak sehat. Usahakan anak sudah istirahat cukup dan makan cukup. Jika anak sedang sakit atau kurang fit, lebih baik orangtua menjadwalkan ulang pemeriksaan inteligensi karena hasilnya mungkin kurang optimal.

Pada anak yang usianya di bawah 9 tahun, lebih baik pemeriksaan inteligensi dilakukan secara individual, artinya satu anak diperiksa oleh satu psikolog. Jika pemeriksaannya massal, satu psikolog menghadapi sekaligus banyak anak, maka dikhawatirkan konsentrasi anak mudah teralih, dan tentunya dapat berpengaruh negatif pada hasilnya.

Data yang harus diberikan oleh orangtua adalah tanggal lahir yang benar, untuk menentukan CA/chronological age. Beberapa psikolog juga meminta data tentang perkembangan anak, misalnya usia mulai bicara atau berjalan.

Tidak perlu ada latihan apapun. Jauh lebih baik kalau anak santai dan tak punya prasangka apapun terhadap pemeriksaan, karena hasilnya akan jauh lebih murni (sehingga saran yang diberikan pun lebih sesuai dengan kondisi sebenarnya). Tak perlu lho orangtua sibuk mencarikan buku tes IQ dan melatih anak dengan soal-soal di dalamnya. Selain bisa berpengaruh terhadap hasil (terkadang pengaruhnya negatif, karena anak cenderung lebih cemas), belum tentu apa yang dilatihkan memang sesuai dengan jenis tes yang diberikan, mengingat begitu banyaknya variasi tes psikologi.

Nah, cukup paham kan parents tentang tes IQ? Marilah kita bijak dalam menggunakannya!



Sumber: theurbanmama,  talentigniter












































Kamis, 05 September 2013

Pendidikan Seks untuk Balita


Berbincang tentang seks dengan anak bukanlah hal tabu kan Ma?... Pastinya bukan mengenai intercourse. Pendidikan seks adalah upaya pengajaran, penyadaran dan pemberian informasi tentang masalah seksual. Salah satu informasi yang diberikan adalah pengetahuan tentang fungsi organ reproduksi dengan menanamkan moral, etika, komitmen agar tidak terjadi 'penyalahgunaan' organ seksual tersebut. Tentu saja ada momen -momen yang pas untuk ngobrol soal seks dengan si kecil. Membicarakan seks dengan anak yang masih balita bisa saja dilakukan ketika sedang mandi, dengan menyebutkan nama-nama bagian tubuhnya seperti vagina atau penis. Ketika Mama hamil lagi bisa bercerita pada si kakak bagaimana proses hamil dan kelahiran adeknya kelak.

Menurut psikolog Sani B Hirawan, MPsi dalam tulisan detikHealth, pendidikan seks sebaiknya dimulai sejak dini hingga seseorang menikah. "Bagusnya pendidikan seks ini diberikan jika sudah terbangun dialog dua arah antara orangtua dengan anak, yaitu sekitar usia 2-3 tahun," jelas psikolog Sani.

Bagaimana merespon pertanyaan si kecil seputar seks?
1. Jangan menertawakan rasa keingintahuan mereka.
2. Berekspresi wajar tanpa terlihat malu atau serius sekali.
3. Jawablah sesimpel mungkin.
4. Jujur tentang nama-nama bagian tubuh yang ditanyakan.

Contoh pertanyaan dan jawaban yang mungkin bisa membantu anda :
Bagaimana bayinya bisa masuk ke dalam perut? Jawab : Itu merupakan hasil hubungan yang spesial dari ayah dan ibunya.
Bagaimana caranya bayi dilahirkan ? Jawab : dibantu oleh dokter dan perawat ketika bayinya siap lahir (jawaban sederhana) atau biasanya ibu mengeluarkan bayi mereka melalui vagina.
Mengapa tidak semua orang punya penis? Jawab : Anak laki-laki dan anak perempuan diciptakan berbeda. 
Mengapa ayah/ibu memiliki rambut di bawah? Jawab : Tubuh manusia berubah ketika bertambah besar/dewasa.

Keingintahuan mereka tentang alat kelamin adalah hal normal. Yang harus kita jelaskan juga adalah bahwa tidak sembarangan orang boleh melihat dan memegangnya, kecuali dokter, perawat, atau orangtua jika memeriksa ada yang sakit di daerah kemaluannya.



Sumber: healthychildren, detikhealth, aboutkidshealth
 



Rabu, 04 September 2013

Balita Kecanduan Games?


Ternyata magnet games tak hanya menarik orang dewasa dan ABG, namun juga balita! Bagaimana bisa?..

Menurut data hasil penelitian  perusahaan riset The PD Group tahun 2009 di Amerika Serikat, sekitar 82% anak usia 2-17 tahun di AS adalah pemain-pemain loyal video games. Dari prosentase itu, jumlah pemain dari kalangan usia balita atau anak umur 2-5 tahun mencapai 9,7 juta. Fantastis!

Walaupun ini terjadi di AS, bukan berarti orangtua di Indonesia tidak perlu memasang "antena". Di Indonesia, video games dalam bentuk nintendo, playstation, gameboy, ds,  dan lain-lain, juga sudah menjadi benda yang akrab dalam keseharian anak. Banyak orangtua membelikan anaknya permainan elektronik itu lantaran memang trend di kalangan anak.

Kenapa sih, games bisa bikin terbius sampai lupa makan?

.-->> Bikin penasaran dan mengasyikkan
Tidak seperti acara televisi  yang sifatnya pasif, games  di komputer atau video games bersifat interaktif. Ketika anak memainkan satu jenis permainan yang bermuatan kompetisi, maka ia perlu mengulang permainannya berkali-kali agar bisa mengalahkan lawan, melewati level demi level, dan akhirnya menyelesaikan permainan. Proses mengulang dan mencoba yang terus menerus, yang dilatarbelakangi oleh rasa penasaran, keasyikan bermain dan larut dalam permainan, itulah yang menyebabkan anak kecanduan game. Apalagi tak ada kecaman atau bentakan dari games jika mereka gagal dalam suatu level. Bandingkan dengan kita sebagai orangtua yang sering membentak dan memarahi mereka jika melakukan kesalahan. Pantesan ya kita jadi kalah sama games. Ga asyik sih!!..

Games juga mengatasi banyak hal dalam kehidupan, ada yang setiap hari kecanduan game karena kesepian dan sulit berkomunikasi dengan keluarganya. Dia akhirmnya  bermain game bertema peternakan yang “mengikatnya”, setiap hari Ipad nya akan mengeluarkan bunyi suara sapi, jika belum diberi makan, dan dia bisa mengangapnya nyata “kasian belum makan sapi-sapiku” dan ada jam-jam tertentu dimana dia harus konsentrasi dengan gamenya tanpa boleh diganggu. Seakan-akan hidupnya seperti seorang profesional yang sibuk namun, hanya memberi makan sapi di gamenya, diceritakan sendiri kesehariannya dan kekonyolannya dengan terbahak-bahak.

Sebegitunya yah?.. :)

Dalam penelitian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga seperti American Psychological Association, American Medical Association dan the American Academy of Pediatrics menyebutkan, kecanduan games bisa menimbulkan:   
  • Masalah perilaku: anak jadi kurang bersosialisasi karena ia  lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bermain dengan mesin, bukan manusia. Selain itu, kegagalan menyelesaikan permaian bisa memicu rasa frustasi dalam diri anak.  Jika games yang dimainkan sarat dengan kekerasan, dampaknya adalah memicu agresifitas dan mengikis rasa iba serta kasih sayang anak terhadap manusia, yang efek sederhananya terlihat dari keengganan anak menolong orang lain.
  • Masalah kesehatan:  kurang gerak, menatap layar video games konstan dan lama akan mencetus serangan sakit kepala, nyeri tubuh seperti pada leher, kurang tidur, gangguan penglihatan, dan yang terburuk dari kecanduan games akut adalah menyebabkan kematian.

Serem ya sebenarnya efek kecanduan games. Berikut ini 5 tips untuk mencegahnya:
  1. Sediakan waktu dan kebersamaan dengan anak lebih banyak, menemani anak di rumah. Jika Anda sangat sibuk, aturlah sedemikian rupa. Anggap saja anak anda sedang “sakit” dan perlu ditemani.
  2. Mengembangkan cara berkomunikasi yang lebih enak dan nyambung dengan anak.
  3. Berusaha memahami kebutuhan anak, termasuk bahasa anak. Menyelami games yang dimainkan supaya bisa menjadi pintu masuk anda bicara dengan anak.
  4. Rencanakan waktu untuk makan bersama dan rekreasi bersama. Saat ngobrol dengan anak yang enak adalah saat situasi mereka juga enak, saat makan dan santai.
  5. Jangan bicara apalagi dengan marah-marah kepada anak saat mereka sedang main games. Hal itu justru membuat mereka bertambah terluka. Berusaha bicara dengan menatap anak dengan kasih sayang.

Sumber: ayahbunda, pendidikankarakter, nydailynews






Selasa, 03 September 2013

Mengatasi Persaingan Antar Saudara

Buat Mama yang punya banyak anak, salah satu hal yang bikin stres tentunya saat pasukan kecilnya berantem, atau saling iri satu sama lainnya. Padahal, sebagai orangtua kita sudah merasa berlaku sangat adil kepada mereka. Persaingan antar saudara mau tidak mau pasti terjadi. Ini adalah sebuah masalah untuk menunjukkan jati diri dari masing-masing anak. Setiap manusia bahkan anak-anak ingin dirinya dianggap sebagai sosok individu yang special. Nah,inilah yang terjadi pada anak -anak kita.
 
Seorang kakak dipuji karena ia pandai menggambar misalkan, pandai berhitung misalkan. Nah, si adik tentunya juga ingin dipuji, tetapi bukan terhadap hal yang sama mungkin. Mungkin ia akan merasa bahwa, “ah.. saya tidak mungkin bersaing disitu karena kakak saya lebih bagus” atau “adik saya lebih bagus”. Maka ia akan mencari bidang yang lain. Jika Anda tidak tanggap terhadap hal ini, inilah yang akan memicu persaingan itu jadi semakin sengit. Seringkali orang tua orang tua mengatakan “aduh..hebatnya kamu”. Nah, ketika ia mengatakan ini di depan adik atau kakak, adik atau kakak tersebut bisa jadi akan merasa tersinggung, “Koq dia yang dipuji, saya koq tidak”.Bagaimana mengatasi hal ini? Inilah caranya:


1. Sederhana sekali, misalkan Anda berhadapan dengan anak nomor 1 dan Anda ingin memuji dia. Anda bisa mengatakan seperti ini, “Wah.. hebat nih, bagus sekali gambar kamu, sama ya seperti juga gambar adik”. Anda memuji anak Anda yang nomor 1, tetapi Anda juga memuji adiknya. Atau sebaliknya Anda berhadapan dengan anak Anda yang nomor 2 dan di dekatnya ada anak nomor 1. Anda mengatakan, “nah.. ini nih baru anak mama hebat sama seperti kakaknya”. Kebanyakan yang di lakukan para orang tua adalah memuji secara personal anak yang bersangkutan. Misalkan seorang adik bisa menyelesaikan sebuah tugas dengan baik, kebanyakan orang tua langsung memujinya “nah.. gitu hebat”. Nah, jika anak yang pertama Anda diam, bukan berarti dia tidak punya perasaan apapun disana. Jika ini sering terjadi dibawah sadarnya dia akan merasa bahwa, “ah.. papa atau mama sayangnya hanya sama adik, sama saya tidak”. Ini bisa terjadi, jadi berhati-hatilah terhadap hal tersebut. Jika Anda memuji anak Anda, pastikan jika ada anak lain disana puji anak tersebut secara tidak langsung. Jika tidak ada anak lainnya Anda boleh sampaikan pujian Anda secara personel pada anak tersebut.



2. Masalah yang lain adalah kurangnya waktu pribadi dengan masing-masing anak. Suatu hari saat selesai sebuah seminar, seorang bapak menghampiri saya dan mengatakan bahwa dia punya permasalahan untuk mengatasi persaingan antara anak-anaknya. Dia punya 2 orang anak dan dia mengatakan bahwa dia sudah bersikap adil pada mereka semua. Bahkan mereka selalu keluar bersama-sama sebagai sebuah keluarga, tetapi mengapa hal ini masih bisa terjadi. Kemudian saya bertanya pada sang bapak ini. “Pak, apakah bapak pernah mengajak salah seorang anak saja untuk pergi keluar bersama bapak sendiri. Atau mungkin bersama bapak dan ibu”. “Itu tak pernah terjadi selama 13 tahun saya menikah dan saya berkeluarga. Kita selalu pergi bersama-sama”. Nah, inilah masalahnya. “Loh.. koq bisa?” kata bapak itu terkejut, mungkin Anda bisa juga mengatakan oh.. bukankah itu juga hal yang bagus? Keluar bersama-sama sebagai sebuah keluarga. Bukankah itu menjalin sebuah kebersamaan. Ya, itu memang menjalin sebuah kebersamaan, tetapi anak Anda juga memerlukan sesuatu yang lain lagi. Dia ingin dianggap sebagai individu yang special. Ketika Anda keluar hanya dengan salah satu anak saja, katakanlah dengan anak nomor 1 saja kali ini, maka dia akan merasa bahwa dirinya special. Ia akan merasa bahwa dirinya adalah yang diperhatikan untuk saat itu. Lain kali Anda keluar dengan anak nomor 2 saja dan dia akan merasa bahwa dia juga diperhatikan. Karena sebagai anak nomor 2, hal yang yang sering terjadi adalah dia akan selau merasa sebagai nomor 2, karena memang itulah kenyataannya. Dia tidak akan pernah merasakan kapan jadi nomer 1. Nah, sampai dia tua pun si kakak pasti jadi nomor 1 dan ia jadi nomor 2, bukankah seperti itu. Karena itu Anda perlu mengantisipasi perasaan ini, dengan cara menjadikannya nomor 1 pada satu waktu tertentu. Ajak dia keluar, istimewakan dia, buat dia merasa bahwa “yes.. sekarang saya nomor 1″. Imbangi dengan sebuah nasehat bahwa kakaknya juga penting. Katakan kepada anak Anda yang nomor 2 misalkan pada saat Anda mungkin mengajaknya makan di restaurant, “hey.. kalau kita belikan kakak makanan kesukaanya bagaimana? nanti kamu yang kasih oke”. Disini Anda membuatnya merasa penting, tetapi Anda juga membuatnya untuk mempunyai rasa perduli pada saudaranya sendiri.


Nah, itu adalah hal-hal yang kecil yang kita perlu lakukan agar persaingan-persaingan seperti ini tidak mencuat jadi sebuah isu yang panas di keluarga. Lakukan hal ini sejak mereka masih kecil. Wah kalau anak saya sudah besar sekarang bagaimana? Anda masih punya waktu untuk melakukannya sekarang. Perbaiki semuanya dan Anda akan melihat hubungan mereka akan jauh lebih baik lagi dan sebagai sebuah keluarga akan sangat kokoh dan sangat kuat.



Sumber: pendidikankarakter, dailymail

Minggu, 01 September 2013

Anak yang Bahagia, Memiliki Inner Motivasi


Anak yang merasa aman, tenang, tentu saja anak yang berbahagia dalam hidupnya. Bagaimanakah menimbulkan perasaan aman pada seorang anak?

Seorang psikolog Dr. Gary Chapman, dalam bukunya “lima bahasa cinta” mengatakan kita semua memiliki tangki cinta psikologis yang harus diisi, lebih tepatnya jika anak maka orangtuanya yang sebaiknya mengisi. Anak yang tangki cintanya penuh maka dia akan suka pada dirinya sendiri, tenang dan merasa aman. Hal ini dapat diartikan sebagai anak yang berbahagia dan memiliki “inner” motivasi.

Contoh, terdorong oleh rasa cinta kepada anaknya seorang ibu memarahi anaknya yang sedang bermain computer. “berhenti maen computer dan belajar sekarang” lalu apa yang ada dibenak anak? Mungkin “Hmpf… Ibu tidak sayang padaku, dan ingin mengendalikan aku serta keasyikanku” Nah, anak menerimanya sebagai hal yang negatif, komunikasi yang menghancurkan rasa cinta ini biasanya yang menjadi akar permasalahan orangtua dan anak, serta guru.

Beberapa hal berikut menyebabkan rasa tak aman pada anak. Apa saja yaa...?

1. Membandingkan anak dengan saudara atau orang lain
Ketika kita mengatakan “mengapa kamu tidak bisa menjaga kebersihan kamar seperti kakakmu”, “kenapa kamu tidak bisa menulis serapi Rudi”. Akan tumbuh perasaan ditolak, tidak diterima, mereka akan berpikir “papa/mama lebih suka dengan…” hal ini menumbuhkan sikap tidak suka dengan dirinya sendiri dan ingin menjadi orang lain. Mereka merasa aman dengan menjadi orang lain, bukan merasa aman dan nyaman menjadi dirinya sendiri.

2.  Mengkritik dan mencari kesalahan
Ketika kita mengatakan: “dasar anak bodoh, apa yang salah denganmu? Kenapa kamu tidak dapat melakukan sesuatu dengan benar?”
Dapat dipastikan, akan menimbulkan perasaan dendam, tidak ada rasa aman dilingkungan rumah (jika hal ini sering terjadi dirumah).

3.  Kekerasan fisik dan verbal
Sudah banyak kita temui di surat kabar dan berita ditelevisi, dan bahayanya atau akibatnya juga sering kita temui di media tersebut. Jika tidak ada rasa aman dalam rumah, maka seorang anak akan mencari perlindungan untuk memenuhi rasa aman mereka disemua tempat yang salah. Dan anak akan melakukan apa saja untuk mendapatkan rasa aman ini, mencari perhatian dengan cara yang salah.


Sebaliknya, untuk membuat sang buah hati merasa aman, Mama dapat lakukan ini ya... :)

• Biasakan menatap mata saat berbicara pada anak, usahakan tatapan mata adalah datar atau “mata sayang”

• Sentuh bagian bahu saat berbicara atau bagian manapun asal sopan, untuk menunjukan bahwa kita ada bersama dan dekat dengan anak

• Usahakan sejajar (berdiri sejajar dengan anak atau berlutut)

• Katakan: apapun yang terjadi papa/mama tetap sayang sama kamu, kamu tetap jagoan papa/mama, dimata papa/mama kamulah yang paling cantik

• Jika memungkinkan, jika anda melihat anak anda perlu untuk melakukan sesuatu sendiri maka ijinkanlah

• Sebenarnya itu adalah proses belajar untuk dirinya sendiri dan akan sangat bermanfaat dimasa dewasa

• Harga diri anak akan semakin tinggi, jika kita rajin memberikan kontrol kepada anak, karena anak merasa mampu melakukan kegiatan tanpa bantuan (tentunya kegiatan yang aman sesuai dengan kebijaksanaan orangtua)

• Luangkan waktu khusus untuk beraktivitas dan memberikan kontrol dan mengawasinya dengan kasih sayang, misal: anak umur 2-3 tahun minta makan sendiri, pergi ke sekolah sendiri, dan lain-lain.


Sumber: pendidikankarakter, indianapublicmedia